Kantor Parlemen Thailand Banjir Darah

Kantor Parlemen Thailand Banjir Darah - Gagal mendesak Perdana Menteri (PM) Thailand Abhisit Vejjajiva membubarkan parlemen, massa "Kaus Merah" alias para pendukung Thaksin Shinawatra mengusung taktik baru yang lebih ekstrem. Yaitu, melumuri Wisma Pemerintah -kantor PM Thailand- dengan darah.


Seperti dilansir harian The Nation, untuk itu, kelompok pro-mantan PM Thailand yang terguling via kudeta pada 2006 tersebut meminta agar setiap demonstran menyumbang minimal 10 cc darah. Karena yang ikut turun ke jalan diperkirakan 100 ribu orang, targetnya adalah 1 juta cc hingga tengah malam kemarin (16/3). Tapi, hingga berita ini ditulis, belum jelas berapa banyak darah yang telah terkumpul.

Ketua Aliansi Demokrasi Melawan Kediktatoran (DAAD) -nama resmi kelompok pendukung Thaksin- Veera Musigapong menjadi orang pertama yang menyumbangkan darah, yakni sebanyak 200 cc. Sekitar 500 dokter dan perawat membantu proses pengambilan darah yang dimulai sejak pukul 08.00 waktu setempat kemarin. Tadi malam WIB, seperti dilaporkan BBC, sebagian darah yang terkumpul itu telah disebarkan ke pintu gerbang Wisma Pemerintah.

"Ini adalah cara damai untuk melawan. Kita akan melihat apakah Abhisit berani berjalan di atas darah kami saat harus bekerja di kantornya,'' seru wakil pimpinan demonstran, Weng Tojirakarn.

''Jika perdana menteri bergeming, kami akan mengirimkan satu juta cc darah tambahan ke markas Partai Demokrat. Jika dia tetap menolak mundur, sejuta cc darah akan membanjiri rumahnya,'' ancam Weng. Demokrat adalah partai asal Abhisit.

Menanggapi tekanan tiada henti DAAD tersebut, Abhisit tetap teguh dengan sikapnya untuk tidak membubarkan parlemen. Keputusan itu, lanjut dia, diambil setelah berkonsultasi dengan para pemimpin partai koalisi. ''Pemerintahan ini dibentuk dan didukung oleh mayoritas anggota parlemen sesuai dengan konstitusi layaknya dua kabinet sebelumnya,'' jelasnya.

Abhisit menambahkan, pemerintah harus mendengarkan aspirasi seluruh rakyat Thailand. Tidak hanya tuntutan para demonstran. ''Pembubaran parlemen dan percepatan pemilu tidak akan menyelesaikan konflik politik yang tengah terjadi,'' tegas politikus lulusan Universitas Oxford, Inggris, yang selama beberapa hari terakhir berlindung di markas militer tersebut.

Selain dukungan kuat militer, yang membuat Abhisit percaya diri untuk tidak tunduk kepada tuntutan demonstran adalah tanda-tanda perpecahan di DAAD. Aksi sejuta darah itu, misalnya, ditolak ahli strategi militer yang pro-Thaksin, Mayor Jenderal Kattiya Sawasdipol.

Menurut Jenderal Kattiya, aksi tersebut justru akan kontraproduktif. Seperti Kattiya, sebagian demonstran juga enggan mendonorkan darah. Yang lainnya terkesan terpaksa memberikan sedikit darah hanya sebagai simbol perlawanan. Menurut The Nation, perpecahan itu berakibat menurunnya jumlah demonstran.

Sementara itu, sehari setelah dua granat meledak di markas Resimen Infanteri ke-11, di belahan Bangkok lainnya, granat kembali meledak kemarin (16/3). Seperti dilaporkan Bangkok Post, granat tersebut menyalak di atas atap rumah seorang pengusaha di Distrik Chatuchak. Lokasi kejadian hanya berjarak 200 meter dari rumah Ketua Mahkamah Agung Akkarathorn Chularat.

Polisi belum bisa memastikan apakah target sebenarnya bom tersebut adalah rumah Akkarathorn. Bulan lalu, Mahkamah Agung memutuskan menyita aset Thaksin Shinawatra sebesar USD 1,4 juta (Rp 13,2 miliar) karena dianggap didapat dari hasil korupsi. Keputusan itulah yang memicu aksi jalanan para pendukung mantan pemilik klub sepak bola Manchester City tersebut.



Bookmark and Share


Dapatkan Info Berita Heboh Terbaru Setiap Hari:


Sudah Tahu Yang Ini? :

0 komentar: